Monday, December 31, 2007

Pesta di Tengah Bencana

Sayup-sayup terdengar suara solawat dari masjid sebelah. Koor segelintir jamaah senior lanjut usia menyayikan lagu cinta pada sang nabi,tanpa pemandu orkestra, apalagi iringan tuts piano dan gesekan biola. Tidak merdu memang, tapi tetap menyentuh sisi terdalam nurani.

Jarum jam masih masih menoleh ke angka 8. Suara tahmid saling sahut dengan satu-dua tet…tet..tet..tiupan terompet pemanasan menjelang lonceng penanda perpindahan tahun. Mungkin tet..tet..siul terompet itu berbunyi dari abab manusia2 yang tak sabar menunggu bertabuhnya pesta. Biarlah…

Ah…tangis langit tiba-tiba mengucur deras. Bunyi tet..tet..terompet menghilang sejenak. Sementara suara corong dari masjid sebelah sudah padam. Jamaah senior lanjut usia bersijingkit balik ke peraduan. Bagi mereka, tidak ada terompet, apalagi denting mercon. Malam ini, tetaplah sama seperti malam-malam yang biasa mereka lewati: menunggu salam sayang dari sang Khaliq.

Jauh di seberang sana, dekat di seberang sini, ada yang menyulam sengkarut di hati. Sedih, tergerus bencana. Mereka mungkin tak ingat lagi seperti apa nikmatnya pesta. Yang mereka tahu, alam sudah tak ramah. Musababnya tak sesulit merunut sabda rasul: karena manusia juga tak ramah pada alam.

Masih layakkah kita berpesta? Perlukah kita mengulang ritual gaduh akhir tahun, ketika peta Indonesia sesak oleh tanda merah bencana? entahlah. Malam ini Evan, Papa, Mama, dan Nenek yang sambang dari Surabaya, tidak ikut pesta tawa awal tahun. Bersimpati pada mereka yang disapa bencana? Salah satunya. Tapi alasan utamanya sederhana: males. Titik.

Selamat Tahun Baru.
Silakan Berpesta.

foto diambil dari sini

 

Cuap2 Terbaru