Thursday, September 13, 2007

Barry Obama



Barry Obama. Ni dia politisi Amerika yang memikat. Menarik membaca biografinya. Dia membuka tabir politik Amerika cukup apa adanya.

Semua bangsa, termasuk Indonesia, biasanya suka bernostalgia dengan berbagai hal yang berkaitan, bersinggungan, atau setidaknya sempat hadir di komunitasnya. Ketertarikan kita terhadap figur Obama, tampaknya seperti itu. Karena ia hadir, pernah tinggal, bahkan mengenyam sekelumit pendidikan di Indonesia, kita merasa Obama adalah kawan kita, famili, dan orang yang pernah kita kenal dekat.

Barry Obama memang sempat tinggal di Jakarta ketika ia masih berusia tujuh atau delapan tahun. Ia tinggal di Indonesia mengikuti ibu dan ayah tirinya--yang orang Indonesia. Karena sempat tinggal di Indonesia, sedikit banyak, tentu ia tahu kultur, karakter, dan gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama warga Metropolitan Jakarta. Dalam bukunya ini, dengan mengambil ilustrasi Indonesia, ia menjelaskan cukup gamblang pandangannya terkait kebijakan politik luar negeri Amerika, terutama negara dunia ketiga.

Bagi Evan yang masih bayi ini, tulisan Obama yang menggambarkan pengalaman hidupnya di Indonesia mungkin menjadi bagian yang paling menarik untuk dibaca. Tetapi sebenarnya ada bagian lain yang tak kalah pentingnya, terutama terkait sikap Obama terhadap pengembangan pendidikan dan sumber daya manusia Amerika.

Obama menyebut, untuk menjadikan Amerika menjadi negara yang lebih kompetitif dalam ekonomi global, harus memulai investasi dalam tiga bidang: pendidikan, sain dan teknologi, serta kemandirian energi (hal. 457).

Mungkin agak sedikit mengagetkan, sebuah negara koboi yang paling berkuasa di dunia da menahbiskan dirinya sebagai polisi dunia, ternyata masih mengkhawatirkan iklim kompetisi global. Politisi blasteran Afro-Amerika ini terlihat miris dengan perkembangan SDM China dan India yang belakangan ingin meningkat pesat.

Obama menulis, "Dalam ekonomi berbasis pengetahuan—dimana delapan dari sembilan pekerjaan yang tumbuh paling cepat dalam dasawarsa ini—membutuhkan berbagai keterampilan ilmiah atau teknologis, sebagian besar pekerja akan membutuhkan bentuk pendidikan tinggi tertentu guna mengisi pelbagai pekerjaan di masa depan."(hal. 463)

Kata dia, jika Amerika menginginkan sebuah inovasi ekonomi, inovasi yang memunculkan lebih banyak google setiap tahunnya, negara ini harus berinvestasi pada para inovator masa depan kita—dengan menggandakan dana pemerintah federal untuk penelitian dasari selama lima tahun ke depan, melatih seratus ribu lebih insinyur dan ilmuan selama empat tahun ke depan, atau memberikan beasiswa bagi beberapa penelitian baru.(hal.467)

Pendekatan yang sama agar Amerika lebih kompetitif adalah kemandirian energi. Dengan semakin berkurangnya cadangan minyak dunia, sudah waktunya Amerika menciptakan sumber-sumber engergi yang diperbarui.

"Ketergantungan kita pada minya tidak hanya mempengaruhi ekonomi. Ia juga merusak keamanan nasional kita. Sebanyak 800 juta dollar kita habiskan untuk membeli minyak asing setiap harinya dan masuk ke sebagian rezim-rezim yang paling mudah berubah pendiriannya—Saudi Arabia, Nigeria, Venezuela, dan, setidaknya secara tidak langsung, Iran. Tidak masalah apakah mereka adalah rezim-rezim yang lalim dengan pelbagai reaktor nuklir dan tempat-tempat persembunyian untuk madrasah yang menanamkan benih-benih teror dalam pikiran anak-anak muda—mereka mendapatkan uang kita karena kita membutuhkan minyak." (hal. 468-469)

Pendidikan. Sain dan teknologi. Energi. Investasi dalam tiga bidang terpenting ini akan menempuh jalan panjang untuk menjadikan Amerika lebih kompetitif.(hal.473)

Pertanyaannya, Amerika saja yang sudah mapan ekonomi, pendidikan, sistem demokrasinya, plus ditopang dengan kekuatan militer maha dahsyat, masih memikirkan tiga hal itu, kenapa kita (baca: Indonesia) tidak? Kalaupun pemimpin negeri ini sudah memikirkan tiga hal itu, tapi mengapa realisasinya belum kelihatan?

Indonesia yang terpuruk, belum stabil, masih belajar berdemokrasi, sistem peradilannya yang acakadut, kebijakan pendidikan yang tidak konsisten, menurut Evan, perlu merenung-merefleksikan semua ini. Jika tidak, tunggu saja kehancurannya. (*)

 

Cuap2 Terbaru