Tuesday, December 04, 2007

Sebuah Pilihan Beresiko


Banjir lagi, banjir lagi. Evan sepertinya ditakdirkan mengalami getirnya kebanjiran di kota yang tak bersahabat Jakarta. Banjir malam ini bukan kali pertama Evan alami. November lalu, Evan lecek berbanjir ria. Tapi malam ini, banjirnya lebih dahsyat.

Air mulai masuk rumah sekitar pukul 23.00 WIB. Semua terkaget-kaget. Papa yang baru saja tiba dari Jawa Timur sedang asyik maen game perang di laptop kesayangannya, bergegas mengamankan apa saja yang bisa diamankan. Buku, alat-alat elektronik, dan pakaian. Mama bangun, mbak fat juga. Mimpi evan terpaksa menguap. Kaget. Bengong. Marah. Tapi tidak tahu mau marah sama siapa. Gubernur DKI kah? Si pemilik rumah? Ato Papa yang ambil kontrak ini rumah tanpa menelisik lebih jauh kondisinya?


Semua mungkin sudah mahfum, banjir adalah rutinitas biasa bagi mereka yang hidup di Jakarta, terutama mereka yang tinggal di pinggir sungai atau daerah yang resapan airnya tidak memadai. Banjir seakan bukan lagi bencana. ”Tidak ada yang perlu disesali. Tidak perlu mengeluh. Ini mah biasa. Gak tinggi-tinggi amat,” begitu kata tetangga sebelah.

”Sudah tau kalo di sini rawan banjir, masih mau aja ngontrak,” demikian ucap yang lain. Ah entahlah. Papa, mama, apalagi Evan yang baru seumur jagung, jelas tak terbiasa berteman dengan luapan air, apalagi dari selokan kotor, bau, dan tak sehat.

Papa, Mama, Mbak Fat, dan Evan masih kebingungan. Tak tau mau bagaimana. Malam menjelang dini, air tak juga surut. Menunggu air surut, sama saja dengan mengundang penyakit. Mau mengungsi Evan tidak punya famili di sini. Menginap semalam di rumah temen papa, juga bukan pilihan tepat. Malu. Takut ngerepoti. Dan lain-lain. Dan lain sebagainya.

Pilihan terakhir dan agak berat diongkos ya mengungsi ke hotel terdekat. Berbekal pakaian seperlunya, Evan dll beranjak menuju salah satu hotel di dekat Taman Ismail Marzuki (TIM). Papa pilih di situ bukan tanpa alasan. Sapa tahu, pas hujan reda, papa-mama bisa kongkow2 di TIM, sambil ngopi ato minum jahe untuk menglihangkan stres dan penat pikir. Evan bisa istirah tenang di kamar bersih.

Mengungsi di hotel pas banjir bukan hal baru bagi warga Jakarta. Pebruari 2007 pas banjir besar menyapu Jakarta, kaum urban kelas menengah atas memenuhi hotel-hotel dari kelas melati sampai berbintang. Tapi bagi Evan, ini pengalaman baru. Bukan untuk gagah-gagahan apalagi membuang duit berlebih. Ini hanya keterpaksaan agar psikis tak terganggu dan Evan tak terjangkit penyakit.

Ah…Evan bermimpi suatu saat punya rumah di pinggir sungai bersih jernih yang mengalir membelah kota bersih, teratur, dan masyarakatnya beradab. Betapa enaknya. Pagi bangun, minum teh atau secangkir kopi di belakang rumah sambil mendengarkan gemericik air kehidupan. Sore memancing di sebelah. Malam, kalo tiba-tiba bangun bisa melongok sebentar melihat ketenangan sang Dewi Air.

 

Cuap2 Terbaru