Sunday, December 23, 2007

Pengen bukan kafe rakyat

Bagaimana memulai sebuah bisnis? Ini pertanyaan klasik dan bagi sebagian orang mungkin mudah untuk menjawabnya. Anda punya ide, kesempatan, dan modal, jalankan. Tapi bagi papa, pertanyaan ini sulit. Karena papa tergolong manusia yang sama sekali belum berpengalaman membuka usaha tertentu. Mungkin juga papa termasuk orang-orang yang tidak (atau belum?) memiliki mental enterpreneur. Ya harap maklum..selama ini papa banyak menggantungkan hidupnya sebagai buruh, kuli, babu di pabrik. Dan sebagai kuli, apa yang dilakukan ya sesuai dengan ketentuan pabriknya. Tinggal menunggu gaji di awal dan pertengahan bulan.


Keinginan untuk membuka usaha sendiri selalu muncul di benak papa. Tapi semua itu hanya ada di angan, tanpa sempat terealisasi Sebatas kemauan. Titik. Ketika menempati rumah baru di kampung sepi pinggiran selatan Jakarta, angan untuk membuka usaha itu muncul lagi. Kebetulan, rumah baru papa ada dua petak toko di depan yang bisa dimanfaatkan untuk jualan, jualan apa apa. Tapi lagi-lagi, mentok. Muncul ide di kepala, susah merealisasikan (jangan-jangan ini mental semua warga pribumi yah?)

[gambar danau di depan rumah]


[gambar danau di lihat dari atap toko]

Oleh pemilik lawas, satu petak toko dimanfaatkan untuk usaha kelontongan kecil-kecilan. Karena kecil-kecilan, hasilnya juga tidak seberapa. ”Cukup lah mas untuk beli bumbu-bumbu dapur,” kata dia. Satu petak lagi disewakan untuk usaha wartel.

”Saya pengen buka warung kopi saja. Semacam kafe rakyat dengan harga terjangkau,” kata papa. Itu salah satu ide papa. Masalahnya, papa selalu bimbang ketika memulai sesuatu yang baru. Laku nggak ya? Opo yo laris? Sapa yang mau ongkang-ongkang di sini sambil nyuruput secangkir kopi plus cemilan ringan? Wong di sini sepi. Jam 8 malam, jalanan di depan rumah sudah sepi..pi, tidak banyak kendaraan lalu-lalang. Hanya ada suara jangkrik dan kodok dari setu (danau) depan rumah.

Sebenarnya, menurut papa, ada satu hal yang mungkin layak jual di tempat ini. Suasananya. Betul. Udara di tempat ini masih bersih, sejuk, dan minim polusi. Danau kecil di depan rumah juga cukup layak lah untuk sekadar cuci mata sambil menikmati dinginnya malam (kalo kafe-nya buka malam hari). Kebetulan atap dua petak toko depan rumah rata dan bisa dimanfaatkan menjadi tempat tongkrongan minum kopi. Bayangkan anda berada di atap rumah melihat danau dan menikmati malam, ditemani secangkir kopi dan cemilan, plus pasangan. Mungkin ada romantisme di sana. Oh ya…menjual romantisme. Di jaman serba kapital ini kan semua bisa jadi komoditas, bisa diuangkan. Kafe atau usaha apapun kadang laris bukan karena barangnya enak dan dibutuhkan. Kafe-kafe di pusat kota yang harganya selangit toh tetap laris meski rasanya tidak jauh beda dengan warkop kaki lima di pinggir jalan.

Lantas pelanggannya siapa? ”ya siapa aja lah. Termasuk Tim Coca-Cola Anget yang meresahkan pengusaha kafe kelas kakap itu. Mereka yang punya duit cekak, silakan ke sini. Anda tidak perlu takut dirasani apalagi diusir meski nongkrong berjam-jam dengan hanya memesan secangkir kopi. Yang penting anda berlaku sopan dan tidak ngutang,” kata papa bersemangat.

Ah..entahlah. Evan tidak tahu persis apa ide papa itu sebatas khayalan seperti sebelum-sebelumnya atau menjadi mukjizat bagi pawon (dapur) mama. ”Kalau usaha ini terealisasi, jalan, sukses, dan mengamankan pawon mama, papa kan bisa jadi pengacara (pengangguran sok banyak acara).”

Ada saran?

 

Cuap2 Terbaru