Friday, December 21, 2007

Pindah Rumah Betulan

Terhitung sejak malam ini, Evan betul-betul pindah rumah, bukan pindah blog.
Ya, Evan kini punya rumah sendiri, tidak lagi kontraktor yang tiap tahun berpindah-pindah hunian.

Kontrakan Evan yang lama memang tidak sehat. Pas musim penghujan, ancaman banjir tiap hari menghantui. Hujan deras satu jam saja, luapan air dari got depan rumah masuk menggenangi setiap sudut ruangan. Airnya kotor, bau, dan penuh penyakit.

Rumah baru Evan berada di pinggir kota. Tepatnya di sebelah selatan Jakarta tidak jauh berbatasan dengan Depok. Kira-kira 45 menit-1 jam pake motor dari Monas. Suasananya sejuk. Udaranya cukup bersih. Pas depan rumah ada Setu—semacam danau kecil—yang airnya tidak terlalu kotor. Kalau malam, masih ada suara merdu makhluk-makhluk kecil pecinta sunyi. Kata pemilik lawas, pas pagi hari, kita bisa menikmati nikmatnya senyum sapa sang surya.


Membeli rumah baru ternyata tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Apalagi jika kita tidak punya dana pribadi mencukupi. Prosesnya begitu lama, panjang, dan berliku. Sebabnya, ya itu tadi, tidak punya uang.

Hanya bermodalkan keberanian (lebih tepatnya nekat), papa beli rumah dengan duit utangan sana-sini. Dari nenek, plus pinjaman KPR dari salah satu bank. Prosedur pinjam duit ke bank hampir sama sulitnya dengan berurusan dengan kantor pemerintahan. Serba birokratis dan banyak persyaratan yang harus dipenuhi.

Dan segala ribet ritual pindah rumahpun harus dilalui. Dari yang biasa-biasa aja sampai lelaku unlogictable (ada nggak ya kosakata Inggris kayak gini). Kata orang tua-tua dan penasehat spiritual keluarga, biar Evan kerasan, Papa harus membawa air yang biasa untuk mandi di rumah lawas. Air itu lantas dipercikkan ke delapan penjuru angin dan sekeliling rumah.

Kenapa pindah malam ini? Kenapa harus Jum’at malam Sabtu? Ini juga saran dari penasehat spiritual. Berdasarkan terawangan dia, malam ini adalah malam yang paling baik untuk menempati rumah baru. Katanya biar semua kerasan, nyaman, keluarga adem, dan rejeki lancar (amien).

Memang, semua lelaku itu tidak mudah di nalar akal sehat. Papa Evan juga tidak sepenuhnya percaya yang begitu-begituan. Tapi..ya sudah, toh tidak ada ruginya dijalankan. Wong hidup ini tidak semuanya bisa dilogikakan. Kata orang-orang pinter, akal budi kita terbatas untuk menjelaskan tanda-tanda.

Apa semua itu penting? Ndak tahu saya. Yang penting Evan sudah terbebas dari banjir jaelangkung itu—yang datang tak diudang, pulang tak diantar.

 

Cuap2 Terbaru