Sunday, January 20, 2008

Sapa Seorang Sahabat

Jum’at malam sabtu dini hari. Jarum jam menunjuk miring ke angka satu. Dengan kuda besi bututnya, Papa dan Wazeen yang tak pakai helm, menyusuri senyap jalan Sudirman Jakarta menuju peraduan setelah berjam-jam ngaji kitab kuning sama kyai pengasuh pondok putri (dot) com dan ustadz-ustadzah lainnya di Kasultanan BHI.

Dingin. Lengang. Sunyi. Ada satu dua kuda besi dan dokar baja masih hilir mudik. Dalam diam, tanpa cakap, papa dan wazeen tenang berkendara. Sayang ketenangan itu terganggu oleh sapa seorang sahabat.

”Minggir,” kata dia sambil menunjuk ke trotoan kiri jalan.
Kami terhenyak sejenak, berusaha menenangkan hati. Sahabat kami itu lantas turun dari kubege (kuda besi gede)-nya.

”Anda dari mana? Mau kemana? Kok tidak pakai helm?”
”Abih ngaji, nDan. Ini mau pulang,” papa menjawab sekenanya. Wazeen turun dan membisikkan kata maaf (ah ndak perlu minta maap mas..ini mah biasa)

”Mana Surat Ijin Menumpak (SIM)?”
”Ndak ada, Ndan.”
”STNK?”
Papa membuka dompet dan mengambil kertas kuning berlaminating yang disisipin kartu nama sakti hasil tirakat empat tahun di gunung ijo. Surat sakti itu memang sengaja papa sisipkan untuk jaga-jaga kalau ada sapaan dari sahabat seperti kejadian kali ini. Biar langsung ingat kawan lama dan tidak perlu berdebat panjang.

Sahabat yang kulitnya cukup legam dengan seragam gagah itu lantas mengambil kertas kuning itu. Dia menjauh sejenak dan membukanya. Ada kejut sedikit di raut mukanya yang tertimpa kuning lampu jalanan.

”Anda kerja di mana?” tanya dia sambil mengayun tangan ke papa.
”Di gunung ijo, Ndan.”
”Anda tahu, nunggang kuda besi itu harus punya SIM. Kalau ndak punya, kuda ini harus ditahan satu bulan. Mau?” dia kembali tegas.
”Tapi biasanya cukup pakai surat tilang…” papa mendebat.
”Tidak ada tapi-tapian. Anda salah dan kuda anda saya tahan. Ayo ke kantor!”

Haduh..kartu sakti yang papa sisipkan ternyata tidak mempan. ”Tapi ndak apa-papa,” batin papa,”saya ndak mau berdebat panjang soal beginian. Di tilang monggo, kuda besi dibawa ke tempatnya sahabat yang ramah ini silakan.”

”Ya Ndak apa-apa, Ndan,” jawab papa.
”Okeh,” dia agak kaget dengan sikap legowo papa,”tapi kalau kuda besimu ndak mau dibawa, kamu mau kasih apa?”
”Mau kasih apa, Ndan. Punya saya ndak cukup.”
”Apanya yang ndak cukup?” dia pura-pura gak ngerti.
”Ya..pokoknya ndak cukup,” jawab papa lagi.
”Oke kalau itu maumu. Ikut saya. Kudamu saya tahan satu bulan,” Dia kembali tegas.
”Kamu naik dokar sewa aja,” kata dia sambil menunjuk Wazeen.

Sahabat tadi lantas memacu lambat-lambat kuda besi gedenya. Papa mengikuti dari belakang. Wazeen ditinggal di belakang menunggu dokar sewaan. Tak lama, dia tiba-tiba mempercepat laju kudanya.

Hoo…hoo..hoo..rupanya ada kawan (baca: mangsa) baru. Di depan ada penunggang kuda besi lain yang dikejarnya. Dia hentikan itu kuda. Papa juga ikut berhenti. Dia lantas mengeluarkan STNK papa dan berbisik,”Ini saya kasih dan jangan kembali kesini. Cepat menjauh dan pulang.”
”Siap, nDan,” papa mulai tersenyum.
”Okeh ya..Besok kamu ke kantor untuk mengambil STNK. Bawa Surat Tilangmu,” teriak dia keras-keras ke papa. Dia berujar keras biar didengar sesama penunggang kuda besi yang baru dihentikannya.
”Siap, nDan. Siap,” papa terjebak dalam sandiwara jalanan. Ado..dododo..

***
Ya begitulah sekelumit pengalaman unik yang tak unik. Papa sering mengalaminya dan mungkin hampir semua penunggang kuda besi pernah mengenyam pengalaman seperti ini.
Sebenarnya papa tidak mau mengaku-aku sebagai penghuni gunung ijo. Malu dan mestinya tak perlu. Kadang, kalau ada sesuatu berlebih di dompet, papa ambil sebagian untuk sahabat-sahabat tadi. Diniatin sodaqoh, bukan untuk bayar denda. Kalaupun tetap ditilang ya monggo, papa mau-mau saja. Malas berdebat ini-itu. Toh surat-surat itu masih bisa diambil di tempatnya judge bao.

 

Cuap2 Terbaru